2:04 AM

Jaman Nuh (The Day of Noah)



Jaman Nuh (The Day of Noah)

Pada jaman dahulu, suatu kota yang sibuk, berkembang dengan pesatnya di bawah bayang- bayang gunung yang sepi di Italia. Suatu kali, gempa besar mengguncang kota itu dengan hebatnya. Namun orang-orang di sana sangat sombong, keras kepala dan merasa sudah hidup dengan sangat nyaman; karena itu mereka tetap tinggal. Jauh sebelumnya, kota besar itu sangat berkilau lebih dari yang pernah ada: bangsawan Roma yang kaya suka berkumpul di permandian umum, lukisan dinding yang baru berkilauan di vila-vila berornamen, kesukariaan Dionysian berlanjut dengan kebebasan yang ditemukan.

Namun pada pukul 1.30 dini hari tanggal 24 Agustus 79 SM, gunung yang mereka abaikan keberadaanya itu meletus. Bencana itu memusnahkan kota dengan sangat cepat sehingga orang-orang di dalamnya tertahan dan terkubur dalam sikap badan yang sedang sekarat. Lautan abu panas dan lumpur mengubur semua dan membekukan orang-orang tersebut dalam posisi terkejut, ketakutan dan kaget luar biasa. Mereka bisa hidup sedemikian dekat dengan gunung itu tentunya mereka percaya bahwa gunung itu sedang tidur. Bagi banyak orang, bahkan peringatan suara gemuruh dan sejarah daerah tersebut mengenai gempa-gempa misterius yang pernah terjadi sepertinya tidak dianggap sebagai ancaman yang serius. Lagi pula, mereka menikmati gaya hidup yang mewah di lereng gunungnya, sehingga peringatan-peringatan itu dengan gampangnya diabaikan. Terlambat bagi orang-orang di Pompeii untuk mengetahui bahwa yang sebenarnya sedang tertidur bukanlah gunungnya melainkan mereka! Sekarang kecuali bagi mereka yang dengan bijaksana meninggalkan kota itu, tidur panjang itu masih menjadi hal yang permanent.

Tidur yang Berbahaya
Seperti halnya penduduk kota kuno Pompeii hidup tanpa kuatir, kita juga hidup dalam keadaan terbius yang membahayakan. Tua atau muda, kaya atau yang ingin menjadi kaya, semuanya ada di bawah obat bius yang sama. Kenaifan yang membuai kita adalah hasil dari pengabdian kita kepada banyak hal yang berlebihan : berlebihan dalam kekayaan, dalam peningkatan diri, dalam kesenangan, makan, minum dan segala hal yang berhubungan dengan kenikmatan jasmani. Di kantor, di universitas, bahkan terkadang di dalam keluarga menjanjikan hal yang berlebihan – makan di kafe setelah jam kerja, mobil mewah, dan perjalanan memakai kapal pesiar setelah lulus kuliah. Tidak ada orang yang dapat berhenti bermimpi. Kita mungkin tidak bermain lotere sama sekali, tetapi tak seorangpun akan menolak membayangkan menang lotere dalam satu malam!

Seringkali kita mungkin menjauhkan diri kita dari segala macam kepuasan diri sedemikian. Kita seringkali berpikir bahwa mengejar karir yang lebih baik, atau hobi pribadi mungkin lebih sehat dari pada mengejar kesenangan materi. Tetapi hal itu tidak ada bedanya. Tidak peduli apa keinginan kita, pengejaran kita menghasilkan kondisi yang sama yaitu terbius sehingga tidak memiliki perasaan. Budaya materialisme, pergerakan anti-budaya dan pencarian diri – semuanya membawa kita yang hidup di dunia ini terbawa ke dalam rasa ngantuk karena terbius. Rasa ngantuk ini mencegah kita dari mengetahui atau memperhatikan ruang lingkup hal-hal yang kekal atau yang sejati. Dalam kondisi ini kita tetap hanya ada di permukaan kehidupan, tetapi mengabaikan kenyataan yang sesungguhnya.
Gambaran di Cermin
Alkitab memberitahu kita bahwa keadaan kita yang mabuk itu telah terlihat sebelumnya. Ada yang bilang bahwa kebudayaan hari ini adalah yang paling puncak dari pencarian kesenangan, namun sebenarnya ada kebudayaan lain yang merefleksikan kebudayaan kita saat ini. Dahulu kala, kebudayaan ini meliputi seluruh bumi. Semua umat manusia mengabdikan diri mereka kepada kenikmatan jasmani. Minum-minum adalah gaya hidup, bukan hanya untuk meleraikan dahaga. Dan ketiga orang makan, hal itu menjadi suatu pesta yang terus menerus, tidak terganggu selama beberapa hari. Kenikmatan-kenikmatan perasaan tersebut menjadi keseluruhan kehidupan manusia.

Hasil dari pengejaran itu adalah tidur sampai mati rasa. Hati nurani manusia menjadi tumpul – kekerasan menjadi dapat diterima, normal dan bahkan ditinggikan. Manusia bangga akan kekerasan dan kurangnya pengendalian diri merkea. Di satu titik, seseorang bernama Lamekh memanggil istri-istrinya untuk memberi selamat kepadanya dan bersuka cita dengan dia. Apa yang mereka rayakan? Karena Lamekh telah membunuh seorang pemuda hanya karena anak tersebut melukai dia1. Setiap orang melakukan apa yang baik di pandangannya sendiri, seperti yang kita lakukan hari ini. Hidup untuk kesenangan telah membius jaman dan kebudayaan sepenuhnya. Orang sudah melupakan keberadaan Tuhan!

Dihanyutkan
Ajaibnya, tidak semua orang di jaman itu dalam keadaan terbius. Ada satu orang yang berdiri melawan arus budaya. Dia mendengarkan firman Allah dan percaya kepadanya. Dia menyadari bahwa dia perlu benar dengan manusia, benar dengan dirinya sendiri, dan benar dengan Allah. Dia sendiri yang bangun ketika yang lainnya tertidur. Firman Allah datang kepada Nuh, orang yang benar, untuk memberitahu dia bahwa Allah akan menghakimi bumi. Untuk menyelamatkan dia dari penghakiman ini, Allah memberitahu Nuh untuk mempersiapkan suatu bahtera – wadah mengambang dengan besar yang luar biasa. Dari semua orang sejamannya, hanya Nuh yang percaya kepada firman Allah, meskipun banyak orang yang mendengar juga dari dia. Tetangga-tetangganya makan, minum, dan kawin mengawinkan dalam ketidakpedulian sampai pada hari Nuh menyelesaikan bahtera dan masuk ke dalamnya.

Pada hari itu bumi dihakimi. Banjir besar yang tidak terbayangkan merobek langit dan sejumlah besar air dari dalam bumi memancar keluar, menjadi air bah yang menghancurkan. Air bah itu berlanjut sampai semua daging yang ada di bumi dihapuskan. Allah yang menghakimi bumi sedemikian adalah Allah yang benar yang telah dilupakan manusia dalam kemabukan mereka. Hanya Nuh dan keluarganya disisakan mengambang di atas air bah yang merusak. Allah secara pribadi menyelamatkan Nuh berkata, “Karena engkau sendiri yang ternyata benar dihadapanku dari generasi ini.” 2

Kenyataan yang Terlupakan
Cerita mengenai hari Nuh sama seperti yang terjadi dengan kita saat ini. Karena dunia kita secara keseluruhan dialihkan dan diduduki dengan banyak hal, hampir keseluruhannya melupakan Allah. Mengejar kenikmatan atau bahkan bekerja atau kepentingan keluarga dianggap kegemaran yang tidak berbahaya. Mengabaikan Allah mungkin diterima dalam budaya kita, tetapi tidak membuatnya menjadi aman. Dialihkan kepada “pengejaran kegembiraan”, kita lupa bahwa ada suatu ruang lingkup yang eksis diluar yang kelihatan (jasmani). Hidup untuk keinginan yang sementara – fisik, emosional atau intelektual – adalah seperti minum obat yang akan membebalkan indera kita dari apa yang tidak terlihat, kekal, dan sejati.

Meskipun demikian, Alkitab bersaksi bahwa sadar atau tidak, Allah ada. Dia tidak berhenti ada hanya karena kita melupakan Dia. Dia lebih nyata dari segala sesuatu yang menyimpangkan kita dari Dia. Kita akui atau tidak, sesuatu di dalam kita merespon saat kita mendengar firman Tuhan. Dia meletakkan kekekalan di dalam hati manusia sehingga kita tahu bahwa Dia ada dan kita bisa mencari Dia. 3 Namun hari ini kita lupa akan keberadaan Allah, tidak pedulikan Dia. Hidup dalam kondisi seperti tertidur sedemikian ini berbahaya.

Jaman Nuh
Dalam injil Matius, Yesus Kristus menyingkapkan suatu garis lurus antara jaman Nuh dan jaman yang akan mendahului kedatangan-Nya kembali ke bumi. Yesus berbicara kepada para pengikut-Nya,”Sebab sebagaimana halnya pada jaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada jaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia”.4 Anak Manusia adalah Kristus, yang juga adalah Anak Allah. Dia adalah Allah sendiri, dan Dia ingin kembali ke bumi. Waktu sebelum kedatangan-Nya akan sama dengan “jaman Nuh”—hari-hari kemabukan, di mana manusia melupakan Allah dan mengabaikan peringatan dari kedatangan-Nya untuk menghakimi. Pada saat kita terlena dengan mengejar kenikmatan kita sendiri tanpa berpikir sedikitpun mengenai Allah, saat itulah Dia akan kembali.

Ketika Dia kembali, Dia akan datang menghakimi bumi. 5 Allah membersihkan seluruh bumi pada jaman Nuh dengan air bah, karena Dia tidak lagi dapat bersabar dengan keadaan manusia yang mabuk. Pada saat kedatangan Anak Manusia, Dia akan menghakimi bumi lagi dan mengakhiri kebebalan yang timbul di bumi pada hari ini mengenai kedatangan Kristus kembali.

Jika kita tetap dalam kondisi koma kita, mustahil bisa melarikan diri dari penghakiman-Nya. Orang-orang pada jaman Nuh menertawakan dan mengabaikan Nuh yang membangun suatu bahtera di tanah yang tidak pernah melihat air hujan. Itu adalah penolakan mereka untuk bangun dari tidur. Ketika banjir datang, Allah menyelamatkan Nuh yang melihat di jamannya dan memilih untuk bangun – tetapi selebihnya dari generasi Nuh tenggelam. Jika kita seperti generasi yang acuh tak acuh di jaman Nuh, lebih memilih untuk tidur ketimbang bangun, jangan berharap untuk bisa melarikan diri dari penghakiman saat Anak Manusia datang kembali.

Berbalik dan Hidup
Pada tahun 54 Masehi, seorang warga negara Roma bernama Paulus menulis kata-kata yang akrab kepada sekelompok kaum beriman Kristus. Di dalam terang sejarah Nuh dan tragedi berapi gunung Vesuvius yang menyebar di seluruh kekaisaran, kata-katanya mengandung sesuatu yang bersifat mendesak. Dia memperingatkan,”Sebab itu baiklah janganlah kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar. Sebab mereka yang tidur, tidur waktu malam, dan mereka yang mabuk, mabuk waktu malam.”6 Paulus menulis kata-kata ini untuk mengingatkan penerima suratnya akan kedatangan Yesus Kristus ke bumi. Kata-katanya masih dapat diterapkan kepada kita hari ini. Seperti kita lihat, Yesus Kristus segera datang. Tetapi akankah Dia menemukan kita tidur atau bangun, siap atau tidak siap? Allah telah mengatakan hal-hal ini kepada kita untuk memperingatkan akan kondisi kita yang sebenarnya. Tetapi mengetahui kondisi kita tidak berarti kita bangun; artinya kita tahu bahwa kita tertidur. Untuk siap bertemu dengan Anak Manusia, kita harus bangun, memperhatikan firman Tuhan dan berjaga-jaga dengan sadar.

Bangun melibatkan hati kita, karena hati kitalah yang berpaling dari Allah. Untuk bertemu dengan Anak Manusia saat Dia kembali, kita harus bertobat dari ketidakacuhan kita dan kepasifan kita terhadap-Nya. Bertobat berarti kita melakukan suatu perpalingan untuk mengenal Allah dan mengakui bahwa kita perlu Dia. Ketika kita berpaling, kita akan hidup. Seperti yang Paulus tulis,“ Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bresama-sama dengan Dia”.7

Jalan untuk bertobat kepada Allah adalah dengan mengubah cara pikir kita dan kemudian percaya ke dalam Putera-Nya, Yesus Kristus. Ketika kita mengakui Yesus sebagai Tuhan dan percaya dalam hati kita bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, kita akan diselamatkan oleh-Nya dari penghakiman yang akan datang. 8 Akhirnya, kita akan dibebaskan dari kemabukan hidup yang sia-sia. Dengan percaya, kita masuk ke dalam ruang lingkup yang tak terlihat dari Allah sendiri dan bersiap untuk bertemu dengan Anak Manusia.
1 Kej. 4:23 (back) 2 Kej. 7:1 (back) 3 Pktbh 3:11; Kis. 17:27 (back) 4 Mat. 24:37-39 (back) 5 Rom. 2:5; Yoh. 5:27-28 (back) 6 1 Tes. 5:6-7 (back) 7 1 Tes. 5:9-10 (back) 8 Rom. 10:9


0 komentar: